Mungkin judul tulisan di atas tidak berpengaruh besar bagi sebagian kita, anda, dia atau mereka. Atau mungkin belum begitu aware tentang hal tersebut. Namun bolehlah kita mulai peduli dan memperhatikannya. Di dunia yang saat sekarang ini penuh dengan situasi VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity),  menghasilkan manusia-manusia yang dilanda kecemasan dan kelelahan (apalagi di dalam masa pagebluk ini) dan semakin hampa spiritual.  Isu-isu yang mengemuka di jagad fisik dan jagad maya, memintal ragam aspek di dalamnya seperti aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, lingkungan, psikologi, kesehatan, teknologi, keamanan, dan lainnya. Semua itu berkembang menjadi sesuatu yang sangat sensiitf, menembus sekat personal, melintas ekspansif dan agresif batas-batas teritorial, dan menjadi kelindan masalah yang sangat sulit untuk diurai dan dipecahkan. 

Kepanikan negara-negara dalam menangani pandemi covid-19, teknologi maju yang ternyata belum mampu menjawab persoalan krisis kesehatan global, kemiskinan, dan perubahan iklim dunia, ekonomi yang mengalami kontraksi, perebutan hegemoni politik dan ekonomi antar negara (lihat perang dagang Amerika vs Tionghoa), adu kecanggihan pengembangan rudal hipersonik (Amerika, Tiongkok, Rusia, Korea Utara), ketegangan antar negara dalam memperebutkan hak kepemilikan sebuah kawasan (contohnya kawasan Laut Cina Selatan), disrupsi digital yang telah berubah menjadi pondasi digital segala aktifitas hidup masyarakat. Candu akses digitalisasi-isme mampu membuat perubahan gaya hidup, cara berekspresi politik, dan menumbuhkembangkan monetasi popularitas. Mencuatnya sebuah slogan nilai baru bernama “New Normal” mewarnai kehidupan manusia sekarang. Di sisi lain, tidak dipungkiri dan tidak disangsikan lagi banyak pihak-pihak yang mendapat cuan tak terbatas dari kondisi sekarang ini. 

Bagi sebuah negara bernama Indonesia, dengan jumlah penduduknya berjumlah 272.229.372 jiwa (data Administrasi Kependudukan per Juni 2021), aspek demografi dipastikan sangat berpengaruh pada ketahanan nasional negara Indonesia. Pengaruh kejadian global yang saya jelaskan di atas tadi begitu kuat dan mesti menjadi perhatian yang serius dalam lingkup nasional dan regional. Sebab membangun soliditas dan integritas bangsa pada saat-saat ini adalah sebuah tantangan terbesar di tengah ragam nilai budaya yang plural, arus informasi yang begitu deras dan di antara peradaban bangsa-bangsa yang universal.

Ancaman-ancaman dengan berbagai macam karakteristik dengan pola yang kompleks dan multi dimensi seperti ancaman militer, ancaman non-militer dan ancaman hybrid atau perang asimetris juga semakin meningkat, seperti dalam bentuk terorisme, penetrasi militer negara asing, pencurian sumber daya alam, perompakan tengah laut, adu domba antar etnis, perang siber, perang dengan modus proksi (boneka atau perwalian/penggantian), spionase/intelijen, konflik terbuka, konflik pelanggaran perbatasan, kasus pelanggaran hak asasi manusia, isu separatisme dan lainnya. Ancaman-ancaman tersebut dapat dirunut ke belakang untuk mengetahui motivasi awal, ideologi dasar ataupun watak pergerakannya.

Ancaman Keamanan Siber

Berbicara tentang teknologi dan sains yang secara masif menyokong hidup manusia saat ini dan sejalan dengan berkembangnya teknologi siber seperti implementasi Internet of Things dan teknologi block chain, memunculkan efek negatif berupa kejahatan siber.  Bila eskalasi ancaman keamanan siber meluas, maka dapat mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah maupun keselamatan bangsa. Dalam dimensi ruang suatu bangsa, cyberspace atau ruang siber atau ruang maya di era 4.0 dan setelahnya, mutlak harus dikelola oleh negara. Tak hanya dimensi fisik kewilayahan dimana Indonesia begitu luas wilayah laut, darat dan udaranya. Ranah siber telah menjadi area perang baru berupa serangan siber bersifat teknis maupun sosial.

Serangan siber bersifat teknis menargetkan sistem elektronik dalam serangannya seperti Denial of Service (DOS) dan Distributed Denial of Service (DDOS), phishing, SQL injection, brute force attack, malware attack, dan lainnya. Pelaku kejahatan internet memanfaatkan celah untuk mengeksploitasi sebuah sistem, bergerak sangat cepat, mengadopsi teknologi serta enkripsi yang sulit untuk diketahui jejaknya. Bahkan meminta sejumlah bayaran atas ulahnya.

Serangan siber bersifat sosial menargetkan social networking seperti pemalsuan dan pembocoran data, identitas palsu, fake news, hoaks, disinformasi, hacking pseudo-sosial, hacking sosial, hacking socio-kognitif, kampanye disinformasi, propaganda komputasional, dan perang informasi. Serangan sosial dapat menggunakan informasi yang dimanipulasi, disalahgunakan, dikontekstualisasikan, disalahgunakan, Bahkan menyerang sisi psikologis pengguna yang banyak tidak disadari oleh banyak pihak dan hanya dapat dilihat dan dirasakan akibatnya.

Ancaman-ancaman siber itu sendiri adalah kegiatan yang tidak saja didominasi oleh kekuatan negara. Ada juga kekuatan-kekuatan yang punya pengaruh besar dalam politik atau ekonomi. Selain itu juga dilakukan oleh jaringan-jaringan kriminal yang terorganisir, individu atau sekelompok orang yang menggunakan serangan dunia maya sebagai cara untuk menyalurkan idealisme ekstrimnya, dan pelaku-pelaku kejahatan tradisional atau peretas perorangan level rendah.

Berdasarkan data internetworldstats, pengguna internet Indonesia mencapai 212,35 juta jiwa pada Maret 2021. Dengan jumlah tersebut, Indonesia berada di urutan ketiga dengan pengguna internet terbanyak di Asia. Jika dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini artinya terdapat lebih kurang 78 persen penduduk Indonesia yang menggunakan internet. Jumlah pengguna aktif media sosial (medsos) pun turut bertambah yang kini mencapai 170 juta pengguna (sumber : inet detik.com).

(sumber:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/14/pengguna-internet-indonesia-peringkat-ke-3-terbanyak-di-asia)

Data yang dihimpun Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan sepanjang Januari-Agustus 2021 ditemukan lebih dari 888,7 juta serangan siber (melebihi jumlah penduduk dan jumlah pengguna internet). Sebagian besar serangan berbentuk malware, denial of service atau menggangu ketersediaan layanan, serta aktifitas Trojan. Kebocoran data akibat malware pencuri informasi ditemukan di sektor pemerintah yakni 45,5 persen, diikuti sektor keuangan 21,8 persen, telekomunikasi 10,4 persen, penegakan hukum 10,1 persen, transportasi 10,1 persen, dan BUMN lain 2,1 persen. Pada bulan September, setidaknya terdapat sepuluh Kementerian dan Lembaga Indonesia yang mengalami peretasan jaringan internal, termasuk komputer milik Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan belum lama ini, situs resmi BSSN diretas dengan metode deface yang diduga terjadi sejak Rabu (20/10) dan baru terungkap ke publik pada Senin (25/10) (cnnindonesia).

Jika serangan siber dilakukan dalam skala yang besar, bisa melumpuhkan infrastruktur kritis nasional, melumpuhkan kemampuan pertahanan dan keamanan nasional dan meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada kedaulatan pemerintah. Implikasi dari peretasan kognitif bahkan lebih menghancurkan daripada serangan siber pada infrastruktur kritis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh disinformasi sulit untuk diperbaiki karena orang membentuk opini berdasarkan bias kognitif, dan hal itu sangat sulit untuk diatasi. Sangat menyesatkan dan menimbulkan kerugian.

Dengan adanya dorongan secara masif oleh pemerintah dalam tumbuh kembangnya ekosistem digital revolusi industri 4.0, jumlah penduduk yang besar, pengguna internet yang juga besar, dan serangan siber baik secara teknis maupun sosial yang sangat besar, maka ancaman siber jika tidak ditangani secara serius dapat menyebabkan sesuatu yang fatal.

Simpulan Sederhana

Saya mencoba menarik beberapa hal dari keamanan siber yang timbul dari adanya  ancaman-ancaman siber.

  1. Kerusakan akibat dari serangan siber dapat berakibat fatal baik secara teknis maupun secara sosial kemasayarakatan. Keamanan siber harus menjadi bagian dari rencana transformasi digital Indonesia. It's time to more treat it.
  2. Keamanan teknis siber perlu dijadikan prioritas dalam transformasi digital saat ini, tidak hanya berkutat pada inovasi layanan digital yang ada. Jargon inovasi layanan juga harus diimbangi dengan security awareness. Kejahatan siber semakin berkembang dengan kurangnya security awareness. Menjalankan test penetrasi ke sistem sebelum sebuah inovasi layanan dipublikasikan ke publik untuk mengetahui kerentanan-kerentanan yang ada, memperbaiki kerentanan fasilitas yang ada, memperbarui sistem secara berkala, pelacakan ancaman berkesinambungan, otomasi respon terhadap ancaman siber, sistem kendali dan supervisi jarak jauh, akuisisi data serta kecerdasan buatan secara terintegrasi dan terkoneksi, analisis korelasi intelijen fisik dan intelijen siber, perlunya penguatan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang keamanan siber seperti forensik digital, kriptografi, open source intelligence, reverse engineering dan perlunya menjalin komunikasi sesama anak bangsa yang tergabung dalam komunitas-komunitas di bidang keamanan siber. 
  3. Keamanan sosial siber dengan memperkuat literasi kesadaran keamanan digital ke netizen. Tidak perlu muluk-muluk. Dari yang sederhana dulu, seperti berhentilah mengunggah dokumen penting pribadi seperti dokumen kependudukan ke media sosial, selalu melakukan pengecekan sebuah berita dengan menambahkan kata hoax di depan judul berita dan segera meng copy paste nya ke mBah Google. Lalu penguatan pendidikan karakter anak dari komunitas terkecil yakni keluarga. Pendekatan dan arahan orang tua terhadap anak (gen Z, gen alpha) untuk membatasi ketergantungan pada gawai yang merangsang otak anak untuk selalu aktif, jika tidak diimbangi dengan rekreasi ke alam, olahraga fisik, dan pengembangan dan pengajaran nilai-nilai hidup, justru membahayakan kesehatan mental anak. Dalam skala yang lebih luas lagi, seperti proses demokratisasi memerlukan keseimbangan antara perlindungan data pribadi dan kepentingan umum, adanya penghormatan prinsip perlindungan data pribadi dan pemaknaan secara detil kepentingan publik dalam berbagai cara pengumpulan data untuk menghindari faktor kebocoran data yang lebih luas. Jika dibutuhkan sebuah lembaga otoritas perlindungan data, paling tidak perlu memiliki prasyarat bebas dari segala pengaruh eksternal, dapat menghindari konflik kepentingan dan punya hak otonom dalam pendanaan. Masyarakat harus merasa aman dari ancaman sosial siber dan kemungkinan nyata dari segala bentuk kegaduhan maya dan kerumitannya yang menuju pada kehancuran sosial.
  4. Dalam dimensi ruang kebangsaan yang lebih luas, perlu sekali dibuat rumusan tentang geopolitik yang mengacu pada revolusi 4.0 dan/atau revolusi sesudahnya.  
  5. Last but not least. Yang patut diingat dan dicatat, perlunya perhatian pada keamanan siber bukanlah untuk menghilangkan seluruh risiko-risiko keamanan siber yang timbul. Tetapi lebih kepada meminimalisir kemungkinan-kemungkinan ancaman dan dampak yang timbul. Sebab tidak ada yang sempurna karena kita semua hanya manusia.

Masih dalam momentum peringatan 28 Oktober, yang saya ingat sebagai momen pergulatan politik para perwakilan pemuda dalam sekuen-sekuen sejarah nusantara bangsa ini. Pertanyaan judul tulisan di atas semoga relevan dengan kondisi saat ini ketika jagad fisik dan maya berada dalam satu titik konvergensinya. Every day matters, every choice matters, every behaviour matters.

Jadi, seberapa pentingkah keamanan siber saat ini? Semoga bangsa ini selalu diberi kekuatan dan perlindungan Tuhan agar dapat berbenah untuk bisa menanggulangi ancaman serta dampaknya. Stay connected to God. Salam sehat dan bahagia selalu. 

Dan Dialah Yang Maha Membimbing Kebaikan.

Di pojokan meja, 3-4 November.

Penulis

Yopie. Just an ordinary man.

 

Rujukan:

https://www.cloudcomputing.id/pengetahuan-dasar/kenali-serangan-siber-dan-cara-memeranginya

https://www.kemhan.go.id/pothan/wp-content/uploads/migrasi/admin/Cyber%20Defence.pdf

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/14/pengguna-internet-indonesia-peringkat-ke-3-terbanyak-di-asia

https://kumparan.com/hanan-widiasmara/pentingnya-keamanan-digital-di-era-revolusi-industri-4-0-1v2IzB5WDLX/full

https://www.republika.co.id/berita/qq5qh1374/fortinet-tiga-transformasi-keamanan-siber-tahun-2021

https://ichi.pro/id/disinformasi-adalah-ancaman-keamanan-siber-56446636088136

https://cyberthreat.id/read/10860/Memahami-Perang-Siber

https://theglobal-review.com/mengenal-perang-asimetris-sifat-bentuk-pola-dan-sumbernya/

https://disdukcapil.pontianakkota.go.id/artificial-intelligence-dan-solidaritas-intelektualbudaya-ditulis-oleh-yopie-indra-pribadi

https://disdukcapil.pontianakkota.go.id/daulat-data-pribadi-ditulis-oleh-yopie-indra-pribadi

Filsafat Ilmu Pertahanan dan Konstelasinya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Richardus Eko Indrajit, Universitas Pertahanan Republik Indonesia (2020)

Ancaman Siber Kian Besar (Harian Kompas)

Kedaulatan Digital dan Geopolitik 4.0, M Arief Pranoto

 

Menginspirasi Medsos Positif, Yudi Asmara

<a href="https://www.freepik.com/photos/computer">Computer photo created by rawpixel.com - www.freepik.com</a>